Kau dapat bermain dengan sebelas James Bond, tetapi kau takkan membunuh kesebelasan Jerman.
Tahun 1994, hampir di semua sudut stadion di Amerika Serikat memasang sebuah spanduk raksasa dengan tulisan, “The New Making History”. Bisa jadi ini merujuk kepada catatan, kali pertama negeri Paman Sam ini jadi penyelenggara Piala Dunia. Menariknya, spanduk tersebut kemudian ditafsirkan sebagai peluang tim Eropa untuk mengangkat trofi di daratan Amerika. Mitos ini berlangsung puluhan tahun. Sebagaimana diketahui, sejak digelar tahun 1930, belum satupun tim Eropa menjuarainya di daratan Amerika. Sebaliknya, Brasil pernah melakukannya di Eropa, tepatnya di Swiss pada tahun 1958.
Dari 8 tim yang lolos ke fase gugur, 7 tim adalah tim Eropa. Ada peluang sejarah baru tercipta. Faktanya, lagi-lagi Brasil memperpanjang mitos tersebut usai mengalahkan Italia di final lewat adu penalti di Rose Bowl, Los Angeles, 17 Juli 1994.
Saya terngiang kembali kenangan masa kecil lewat spanduk raksasa itu. Akankah Jerman meruntuhkan mitos dinihari nanti? Ataukah Argentina membuat sejarah baru, kali ketiga membawa pulang trofi setelah juara di tahun 1978 dan 1986?
Mari mundur sejenak ketika kedua tim ini berlaga di final Piala Dunia sebelumnya.
114.800 penonton memadati Stadion Azteken Meksiko. Dua gol Luis Brown dan Jorge Valdano memaksa Jerman ,-kala itu masih memakai Jerman Barat- tertinggal 0-2 hingga menit ke-74. Mesin panser terlambat panas. Karl-Heinz Rummenigge menyarangkan gol ke gawang Nery Pumpido. Enam menit kemudian, Rudi Voeller menyamakan skor. Pertandingan menjadi sengit. Diego Maradona yang di perempat final membuat publik kagum dengan “gol tangan tuhan” kembali punya peran penting sebagai maha bintang. Lewat passing yang cerdik, ia memberi umpan menawan kepada Jorge Buruchaga di menit ke-85. Robek sudah gawang Harald Schumacer. Peluit berbunyi dan Argentina pun Juara. Amerika di tanah Amerika.
Empat tahun kemudian beberapa pemain dari kedua kesebelasan tersebut hadir lagi di Roma. “Saya ingin keabadian ini terulang kembali. Indah rasanya!” kata Buruchaga. Jerman pun tak tinggal diam. Rudi Voeller masih dihinggapi penasaran. Maklum saja ia masih merasa bau kencur kala hadir di Meksiko. Maka ketika dirinya dijatuhkan Nestor Sensini di kotak terlarang, suasana menjadi tegang. Wasit asal Meksiko melayani dengan sabar makian para pemain Argentina. “Diving!” ujar Maradona. Wasit tetaplah penguasa pertandingan, tendangan penalti harus dilakukan. Jerman unggul lewat tendangan kidal Andreas Brehme di menit ke-85.
“Aku tak pernah tahu Andy Brehme seorang kidal atau bukan,” celoteh Franz Beckenbauer kemudian hari. Jerman pun pulang dengan trofi seiring situasi politik dalam negeri di masa transisi. Dalam budaya pop, masa politik Jerman Barat bersatu dengan Jerman Timur kala juara di Italia ini terekam apik di film Good Bye Lenin!.
Dinihari nanti, kedua tim ini bertemu untuk ketiga kalinya. Publik Brasil jelas akan mendukung Jerman dengan alasan rivalitas abadi terhadap Argentina. Sejarah panjang di sepak bola ini tercermin dari ikon maha bintang kedua tim, Mario Kempes versus Zico, Pele versus Maradona, hingga Neymar versus Messi. Bagi Messi sendiri, final nanti adalah pembuktian bahwa dirinya memang layak disejajarkan dengan Diego Maradona.
Maka pertandingan akan sangat menarik. Apalagi digelar di Stadion Maracana, salah satu kebanggan rakyat Brasil. Soal jalannya pertandingan, pendukung Jerman kerap sesumbar, “Argentina hanya punya Messi, kami mempunyai sebuah tim.”
Biarlah Maracana menjadi saksi kedua raksasa itu bermain sesuai karakter dan sejarah panjang yang mereka miliki. Biarlah Messi menari-nari menembus hadangan Mats Hummels dan kawan-kawan. Kita juga ingin melihat Ramba-Zanga khas Jerman menggempur lini pertahanan lawannya lewatpermainan kolektivitas. Soal nanti siapa yang angkat trofi, kembalikan saja kepada hukum alam: bola itu bundar.
Dan kita pun yakin, sepak bola pada akhirnya tidak melulu harus menjadi candu. Ada pengumuman Pilpres, ada masalah kemanusiaan di Gaza. Sisa Ramadan pun bisa kita reguk. Dunia tak boleh lagi dimabuk bola!
Apapun hasilnya… Kesetiaan akan selalu berbuah rasa syukur
Dari awal prakualifikasi piala dunia-hingga penyisihan, Tim Tango bermain dibawah harapan besar pendukungnya… Kemenangan tipis, hingga overtime hingga kejar mengejar dengan tim afrika kemarin membuat deg deg ser hati… Tapi argentina tampak memiliki kekuatan hati seperti yg dipancarkan ketika Di Maria,Aguero dan semangat yg menonjol dari Mascherano…
Ya tapi Bol memang bundar… Semoga kali ini kulit bola terbuat dari kulit Nazi. #SalamFlamboyan