Merdeka Bersama Wadjda

Dibaca normal 4 menit

Wadjda, gadis cilik berusia belasan tahun ini bermimpi punya sepeda. Ini didasari karena tingkah teman bermainnya, Abdullah, yang suka meledek dan mengganggunya. “Lihat saja kalau aku punya sepeda nanti.”

Sayangnya, hukum dan adat Arab Saudi melarang perempuan untuk menggunakan sepeda di ruang publik. Dalam beberapa kesempatan ia sering dimarahi keluarga dan gurunya karena keinginannya yang konyol itu. Setiap pulang sekolah ia melewati toko sepeda dan selalu menitipkan pesan kepada penjaga toko agar sepeda impiannya jgn dijual ke org lain, “Titip sepeda ini untukku”. Di lingkungan sekolah, Wadjda mulai mengumpulkan uang sendiri. Menjual aneka aksesori atau menjadi penyedia jasa pengantar surat. Pihak sekolah sempat mengancam mengeluarkannya karena ketahuan membawa barang jualan. Masalah semakin rumit karena kedua orang tuanya mengalami masalah pernikahan.

Kesempatan baik datang. Pihak sekolah mengadakan lomba hafidz Al-Quran. Dilematis bagi Wadjda karena uang yang dikumpulkan hampir mendekati harga sepeda 800 riyal. Di sisi lain, hadiah lomba cukup menggiurkan, 1000 riyal. Kadung punya mimpi besar, uang tabungannya dibelikan kaset panduan baca Al-Quran. Adegan mengharukan terjadi di atas balkon. Si ibu yang sedang menangis, gadis cilik berusia 10 tahun itu menghampirinya dan keduanya melantunkan ayat suci dengan riang. Segala persoalan hidup pun dilupakan.

Hari lomba tiba, dan mudah ditebak; Wadjda menjadi pemenang. Dan yang mengejutkan adalah saat pihak sekolah tiba-tiba menyumbangkan hadiahnya untuk Palestina.

“Hadiahnya untuk apa, Wadjda?”

“Aku ingin membeli sepeda.”

“Kamu memalukan dan gak berubah,” kata gurunya  sesaat setelah acara. “Bukankah lebih baik kalau disumbangkan untuk kegiatan sosial dan kamu mendapatkan pahala?”

Wadjda pulang dengan raut menyedihkan. Mimpinya hampir kandas. Ia menangis hingga tertidur. Cinta seorang ibu memang luar biasa. Uang yang dikumpulkan untuk membeli sebuah baju demi menyenangkan sang suami akhirnya dibelikan sepeda bagi sang putri.

wadjdaSaya, seumur-umur baru kali ini melihat film Arab Saudi modern. Ekspektasi saya memang masih sebatas bahwa film dari negeri ini pasti tentang kisah para nabi dan orang-orang saleh. Sangat jarang atau mungkin ini satu-satunya yang mempertontonkan keseharian masyarakat Arab Saudi ,-lebih-lebih kaum perempuannya- dalam menghadapi aneka persoalan hidup.

Haifaa al-Mansour, sutradara perempuan Saudi ini cukup pandai mempertontonkan keseharian warga perempuan Arab Saudi. Memasak bersama sambil melantunkan nyanyian, senda gurai ibu dengan anaknya tentang masa depan kaum perempuan, atau suasana sekolah yang tidak begitu menyenangkan. Ia sedang tidak menyuguhkan negeri Islam yang memperlakukan tentang hukum cambuk atau cerita regenerasi kaum militan. Haifaa yang dalam proses syutingnya mendapat ancaman pembunuhan cukup pandai menggabungkan humaniora, hukum, dan sisi humor. Suami yang memiliki istri lebih dari satu, penggunaan kultur pakaian, hingga struktur keturunan yang selalu menonjolkan kaum pria. Ada adegan lucu ketika sebuah gambar tentang silsilah keluarga Wadjda. Ia lalu menambahkan namanya di bawah nama sang ayah dengan sebuah kertas. Wadjda sadar, namanya tak akan pernah tertulis dalam silsilah, meskipun ia tergolong manusia salehah secara sosial. Eh, bukankah ini mirip di negeri kita ya? 😀

Wadjda dan ibunya telah membuktikan tentang derajat kaumnya. Mereka layak mendapatkan posisi yang serupa dengan kaum Adam dalam beberapa hal. Sebagaimana pepatah Arab menyatakan,

Dalam kepala wanita ada kekurangan, tetapi dalam hati mereka ada kelebihan.

Cara Wadjda dalam mewujudkan mimpi layak ditiru oleh siapapun.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan