Menuli(s)

Dibaca normal 6 menit

“Lama gak nulis, otak gue bego,” seloroh seorang kawan lewat obrolan daring. Betul ternyata, dua bulan terakhir otak saya nyaris tumpul merangkai kalimat. Alasan klasik tentunya kesibukan pekerjaan yang bertubi-tubi. Tapi nampaknya saya naif ketika menjadi malas menulis di blog ini. Padahal banyak sekali momen yang sebetulnya sayang jika tidak ditorehkan menjadi sebuah catatan, minimal tentu saja untuk dikonsumsi sendiri sebagaimana tujuan blog keroyokan ini; jadi cendramata yang asik bagi penulisnya mengenang kota Jakarta. Ujar Abah Amin, mana tahu, tahun depan sudah berlabuh di kota atau negara lain. Amin, Abah.

Banyak hal yang ingin ditulis, mulai dari hal-hal serius di kegiatan komunitas, rencana melamar Isyana Sarasvvati, isu-isu sosial politik sepanjang tahun 2015, orang-orang yang asal tekan tombol share di media sosial,- istilahnya ‘sarsersor muncrat-muncrat’- atau hal-hal remeh soal dunia sepak bola atau fotografi. Ide-ide yang hanya membuncah di kepala, minta diledakkan. 

Belakangan saya memang kesulitan bagaimana memulai sebuah tulisan. Malahan harus berjam-jam di depan monitor, kadang gelisah sambil menghabiskan berbatang-batang kretek, bergelas-gelas kopi, sampai akhirnya menyerah pada lelap. Padahal tujuan pokoknya sederhana, bagaimana membuat pembukaan yang enak dibaca, -dari sisi saya sendiri, lebih-lebih dari sisi pembaca-. Meskipun sudah punya angan-angan mengenai arah tulisan, tetap saja dalam kondisi tertentu saya harus menyerah yang akhirnya sampai pada kesimpulan; saya bukan penulis bernapas panjang seperti si Uwak itu. Di sisi lain, muncul pertanyaan dalam kepala: seberapa jauh saya merasa akrab atau asing dengan lingkungan garapan yang ingin saya tulis? Bagaimana caranya menghasilkan tulisan yang bisa jadi pengalaman estetis pembacanya? Kapan mau nulis buku lagi novel?

Huh. Suram kadang-kadang.

Melihat percobaan saya yang berhari-hari gagal mencari pembukaan yang enak untuk menulis, sempat terbersit untuk tak pernah percaya dengan ‘ilham’ atau ‘waktu yang baik’. Buat apa hanya menunggu keajaiban datang? Kreativitas waktunya kok dibatasi? Kecuali situ seorang Eddie Mora yang mengkonsumsi NZT untuk mengoptimalkan kinerja otak yang mampu menulis 100 halaman dalam hitungan jam.

**

Dua minggu lalu atau tepatnya akhir tahun lalu, tiba-tiba saja masuk sebuah surat elektronik yang mengajak saya bergabung untuk ikut menulis buku, lagi-lagi keroyokan. Pengirim dan penerima adalah kawan-kawan lama, sesama alumni workshop menulis di Wahid Institute dulu: Nailal FahmiAar, Agung, Vira, Sarah, Wina. Dalam sebuah obrolan, saya pernah berkelakar kalau saya terakhir menulis buku 3 tahun lalu.  Ndak produktif kok sombong maneh! Hardik batin saya saat mengetik tepat di paragraf ini. Sayangnya, tema buku yang diangkat mengusung pengalaman masing-masing penulis sebagai orangtua yang mengasuh anaknya. Saya jelas angkat tangan karena gerombolan yang bakal nimbrung tentu saja bapak-bapak dan emak-emak. Huh, mereka sudah tua memang. Mudah ditebak, saya di-bully ampun-ampunan yang menurut saya sudah masuk ranah politik. Politik identitas.

“Eh, kita tetap butuh pendapat lu dong, terutama soal ‘keter-makanan’ lu di dunia penerbitan,” kata Nailal, hansip dari Bekasi. Ia mengirim contoh tulisannya dengan baik yang bisa dijadikan rujukan teman-teman lainnya. Baiklah, kata saya, yang akhirnya terpaksa memberi saran ini itu, sebaiknya, selayaknya, dan sepantasnya saja.

**

Tepat dua hari jelang pergantian tahun, usai mengantar seorang kawan ke stasiun Tanah Abang, saya tak langsung pulang. Teringat ucapan mentor menulis dulu, kalau sebuah pengamatan atau riset di suatu lokasi, tokoh, atau kejadian, biasanya akan jadi dorongan yang baik untuk menulis. Usai sedikit menyisir Jalan Jati Baru dan pasarnya yang sepi, nampak jelas kehidupan remang-remang di sudut Jakarta. Ya, saya sedang keluyuran.

Beberapa perempuan berdandan menor di sudut-sudut gang dengan pencahayaan minim bertebaran seraya keluar sejenak untuk memberhentikan supir bajaj dan supir taksi. Oh, tentu saja mengajak kencan. Sempat terbersit, mereka ini sebetulnya hanya melakukan dosa pada diri sendiri, paling bobrok pada orangtua dan sanak saudara. Tak jauh dari mereka, pedagang kopi keliling menggelar tikar di emperan trotoar seakan mengundang siapa saja untuk mampir.

Waktu menunjuk angka sepuluh ketika tiba di sebuah kedai makan, tepat di depan stasiun untuk mengusir lapar. Menunya soto Betawi dengan pelanggan lelaki paruh baya yang dibantu perempuan muda, entah pasangan suami isteri atau bukan. Duduk di depan mereka adalah pasangan juragan kedai, sudah berumur sekitar 60-an. Juragan pria berbahasa Padang ketika ia berteriak memesan kopi yang ada di seberangnya. Sementara juragan perempuan berbahasa Jawa saat menyuruh anak buahnya menukarkan uang recehan. Ke-bhinekaan kecil malam itu hadir dari sebuah kedai.

Nah kan, akhirnya beberapa paragraf saja bisa ditulis dari berbagai pengalaman pribadi. Toh ternyata menulis memang harus dipaksakan karena siapa saja bisa menggarap tulisan berdasarkan cerita, lokasi, setting, tokoh-tokoh dan karakternya, maupun lokasi yang diinginkan.  Maka betul saja kata Umar Kayam, “Menulis, pada mulanya, ternyata adalah masalah kemauan yang pribadi sekali. Masalah determinasi. Selanjutnya, ternyata, boleh apa saja ikut terjadi…”

Menulis hakikatnya sedang menuli dari keramaian.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan