/

Menteng; Kenangan dan Hal-hal yang Menggantikannya

Dibaca normal 6 menit

Ada kedamaian yang pelan-pelan menguasai hati saya, saat siang yang cerah itu saya dan sekitar tiga puluh teman dari komunitas Ngopi Jakarta berjalan-jalan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Selama ini saya sering berkhayal, betapa menyenangkan seandainya bisa melakukan perjalanan ke masa silam. Menyapa mereka yang hidup di zaman itu dan melihat dunia sebagaimana mereka melihatnya. Merasakan sendiri menjadi rakyat dari sebuah bangsa yang belum memiliki nama.

Dan di kawasan yang menyimpan banyak kenangan sejarah siang itu, saya membayangkan menjadi musafir dari masa depan yang jauh. Saya menyaksikan dari dekat kesederhanaan orang-orang zaman itu dan menebak-nebak apa yang sulit mereka percaya seandainya berkunjung ke masa kini.

***

Saya kadang merasa beruntung hidup di zaman modern. Terima kasih pada teknologi yang memberikan kemudahan dalam banyak hal; dari blender sampai printer, dari ATM sampai GPS. Benda-benda yang sudah menjadi bagian hidup kita dan mungkin tak terbayangkan oleh mereka yang hidup satu abad sebelumnya.

Namun, berjalan di kawasan yang dulu merupakan hunian para bangsawan dan orang-orang penting di zaman Hindia-Belanda itu memantik tanya di benak saya: benarkah kita, yang seakan tak bisa membebaskan diri dari teknologi ini, lebih beruntung ketimbang mereka yang terlahir lebih dulu?

Kemajuan teknologi memang membuat hidup kita saat ini terasa lebih mudah dibandingkan hidup orang-orang seabad yang lalu. Tapi, bukankah setiap zaman memiliki tantangannya sendiri dan setiap kita, kapan pun masa hidup kita, akan berhadapan dengan tantangan-tantangan itu?

Kakek-buyut kita mungkin tak pernah merasakan nyamannya duduk di dalam mobil ber-AC, serunya menonton film di televisi, atau mudahnya bertegur sapa menggunakan handphone. Tapi, mereka juga tak pernah pusing dengan angsuran kendaraan, tagihan listrik, atau tarif internet.

Pembangunan fisik sebuah kota, yang biasanya berkelindan dengan kemajuan teknologi, juga diyakini memberikan kemudahan bagi manusia modern. Ironisnya, hal itu kadang dilakukan dengan menghancurkan bangunan yang lebih dulu ada. Menyusuri Jalan Cilacap, Setu Lembang, Taman Suropati, dan bertamu di kediaman Alm. Roeslan Abdulgani serta Romo Adolf Heuken mengonfirmasi hal itu.

Hanya sedikit saksi bisu sejarah masa lalu yang bisa kita temukan di tempat-tempat itu. The Hermitage yang terletak di Jalan Cilacap, yang dulu merupakan kantor telekomunikasi Belanda bernama Telefoongebouw, hampir-hampir tak ada bedanya dengan hotel lain yang dibangun belakangan ini.

Setu Lembang dan Taman Suropati juga sama. Mungkin tak ada bedanya dengan taman-taman lain yang baru dibangun oleh Ahok. Kalau ada satu atau dua sentuhan masa lalu yang masih tersisa di sana (meski saya tak tahu itu apa), jelas itu tak cukup untuk menghadirkan suasana tempo doeloe.

Kesan yang berbeda saya rasakan saat berkunjung ke kediaman Alm. Roeslan Abdulgani dan Romo Adolf Heuken. Selain bangunan rumahnya yang masih memberikan nuansaΒ era 60 atau 70-an, berbincang-bincang dengan para tuan rumah juga membuka mata saya tentang apa yang pernah terjadi di masa silam dan, sebagai perbandingan, apa yang tengah berubah saat ini.

Saya bisa merasakan sisa-sisa keindahan di dua rumah itu, bahkan saat baru menginjakkan kaki di halamannya. Tapi, itu tak berselang lama. Keluh kesah Romo Heuken tentang Jakarta yang semakin bising dan tetangga-tetangga barunya yang masa bodoh dengan keaslian arsitektur rumah zaman dulu membuat saya lupa dengan suasana rumahnya yang teduh dan tenang.

Saya bisa saja menuliskan sederet kekecewaan di sini, sampai saya kehabisan waktu bahkan untuk mengingat sisa-sisa keindahan masa lalu di Kota Taman itu. Tapi, satu yang saya syukuri. Di ujung perjalanan kami siang itu, sebuah gedungΒ tuaΒ menjadi penutup yang sempurna.

Gedung itu adalah Kunstkring Art Gallery, sebuah bangunan yang berdiri tahun 1914 dan didesain oleh P.A.J. Moojen. Gedung tersebut pernah menjadi kantor imigrasi Jakarta Pusat (1950-1997) dan sebelumnya kantor pusat Majelis Islam A’la Indonesia (1942-1945), cikal bakal Masyumi.

IMG_4362.JPG
Berbagai karya lukis dipamerkan di Kunstkring Art Gallery. Ada yang menjadi koleksi pengelola gedung, ada juga yang dijual untuk masyarakat umum.

Kalau kita pernah menonton Sang Kyai, sebuah film tentang sejarah perjuangan KH. Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur), kita melihat adegan para kyai berdiskusi dengan pemerintah pendudukan Jepang di tempat itu. Keputusan-keputusan para ulama dalam forum tersebut selanjutnya turut membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia.

Berada di dalam Kunstkring Art Gallery seperti berada di suatu tempat yang memisahkan hari ini dan masa lalu. Kita bisa menjadi diri sendiri, seorang manusia modern dengan polaΒ pikir dan gaya hidup yang kekinian. Pada saat yang sama, kita juga bisa menengok sejenak hari-hari yang telah lalu, bukan untuk menetap di sana tapi sekadar mengambil pelajaran darinya.

Apa yang berubah di kawasan Menteng kurang lebih sama dengan yang terjadi di banyak tempat lain di Jakarta (dan Indonesia). Sebagian orang menganggapnya sebagai konsekuensi perkembangan zaman, sebagian yang lain melihatnya sebagai sebuah ironi. Ironi dari sebuah bangsa yang terus membanggakan identitas dirinya tapi pada saat yang sama melupakan sejarah masa lalunya.

Padahal, hanya mereka yang mau menghargai masa lalunya yang mampuΒ membangun masa depannya, bukan?

*

Firdaus Agung
Diposting pertama kali oleh penulis di blog pribadinya di tautan ini.

Tinggalkan Balasan