Chao Phraya, dan Ingatan Tentang Ciliwung

Dibaca normal 5 menit

Selain papan kecil bertuliskan “TAXI” yang terlihat pada atap Tuk-Tuk, alat transportasi tradisional Thailand yang ternyata bentuknya tak jauh dari bemo terbuka, kampanye gencar “Buddha is Not for Sale” yang ditandai lewat tempelan stiker di pintu toko juga brosur tempat pariwisata, hal yang kemudian mampu saya ingat dari Bangkok adalah sistem transportasi publik yang sungguh membuat iri hati. Sebuah ibukota negara yang masuk ke dalam daftar negara maju di Asean pun tidak, terlebih dunia, mengapa memiliki sistem transportasi yang lebih baik dibanding ibukota negara tetangganya. Ya, Jakarta.

Kepadatan lalu lintas di kota-kota besar seolah tidak pernah ditemukan ujungnya, menuntut para pemangku kebijakan untuk lihai memainkan terobosan baru yang serba cepat dan menguntungkan banyak pihak.

Penerapan moda transportasi Bangkok Mass Transit System (BTS) atau Skytrain yang bergerak di atas rel melintas langit kota, Mass Rapid Transport (MRT) yang meluncur di bawah tanah, dan Bangkok Metro disebutkan membuat Kota Bangkok lebih maju di limabelas tahun terakhir jika dibandingkan dengan Jakarta.

Terjadinya tingkat kemacetan lalu lintas yang sangat parah pada tahun 1990 membuat pemerintah daerah Kota Bangkok mengajukan pembangunan moda tranportasi yang dapat mengurangi kepadatan di jalan raya. Setelah sempat mengalami perhentian proyek di tahun 1992 akibat ketidaksepakatan dengan pemerintah pusat yang lebih memilih membangun jalan raya dan tol dalam kota, akhirnya konstruksi BTS diteruskan kembali pada tahun 1999 saat pemerintah tersadar alih-alih menjadi solusi kemacetan, penambahan dan pelebaran jalan raya justru menambah minat penduduk kota untuk membeli kendaraan pribadi baru.

Tidak cukup sampai di situ, setelah berhasil mengurangi kemacetan dengan sistem transportasi terpadu, Bangkok pun mempercantik sistem transportasi air yang telah menjadi transportasi publik vitalnya sejak puluhan tahun silam. Sungai Chao Phraya dikenal sebagai Venesia dari Timur, merupakan sungai utama di Thailand dengan panjang 372 kilometer yaitu hampir tiga kalinya Ciliwung, terlihat cantik membelah Kota Bangkok. Walau airnya berwarna keruh kecoklatan karena faktor komponen penyusun pada dasarnya, Chao Phraya terbebas dari sampah. Sesekali terlihat petugas dari pemerintah daerah kota mengangkuti eceng gondok secara manual. Air buangan dari pipa-pipa yang terkoneksi ke gedung tinggi dan bangunan tempat tinggai di sepanjang sungai mengalir ke dalam Chao Phraya, hasil pantauan fisiknya menunjukkan bahwa pengelolaan limbah domestik kota sudah ditangani secara layak. Kanal-kanalnya teratur menuju perkampungan, bermacam ras, penduduk asli maupun pendatang tinggal di pinggir sungai. Lagi, saya teringat akan Ciliwung.

Perahu-perahu bermesin kecil hingga kapal cruise mewah hilir mudik melintasi sungai Chao Phraya, beberapa bersandar pada dermaga yang telah ditentukan, masing-masing telah terhubung dengan moda transportasi dari darat. Tourist boat , semacam kapal feri yang bisa dinaiki dari dermaga-dermaga sungai disediakan bagi wisatawan asing dengan ongkos 25 baht (1 baht = Rp 382) mampu mengantarkan para pengunjung ke halaman kuil, candi, pasar, taman kota, sekolah, kantor pemerintahan, sampai hotel bintang lima sekelas JW Marriot. Pada malam hari Chao Phraya terlihat lebih menawan, komposisi penerangan khas negeri seribu pagoda dipadukan secara tidak berlebihan dengan bangunan modern pada sisi kanan-kirinya. Saya masih mengingat Ciliwung di Jakarta.

Pada saat Fauzi Wibowo menduduki Jakarta sebagai gubernur, berbekal sponsor dari salah satu perusahaan swasta yang memproduksi minuman ringan, Pemprov DKI Jakarta sempat membuatkan beberapa dermaga di Kanal Banjir Barat, Sungai Ciliwung, yang harapan kedepannya ini dapat dipakai sebagai stasiun pemberhentian alat transportasi wisata air. Cita-cita ini hanya bertahan beberapa bulan saja, proyek wisata air berhenti akibat pendangkalan sungai Ciliwung yang terjadi terus-menerus. Sedimentasi pada sungai Ciliwung membuat kapal-kapal kecil, rakit bermesin sulit berlalu bahkan dalam kecepatan rendah.

Ciliwung mesti kembali berbenah. Jakarta tak perlu latah sampai akhirnya limbung untuk mengikuti gaya bersolek ibukota negara lainnya. Kota Jakarta seharusnya mempunyai cara sendiri untuk memunculkan inner beauty yang dimiliki. Satu dua kampung digusur? Tiga empat bangunan digeser? Ruang publik terbuka dibangun lebih banyak. Suatu saat sungai yang membelah jantung ibukota Jakarta ini pun akan memesona dengan caranya sendiri.

pemainkata

Warga kota yang menolak dungu dan berharap tak tersesat.

Tinggalkan Balasan