Jakarta-Bandung Hanyalah Perkara Jarak

Dibaca normal 2 menit

Ingin mengabadikan hal ihwal dan tetek bengek sebuah kota. Menyelami dan membaca ulang ke dalam jaringan hubungan tekstual. Untuk menafsirkan teks, untuk menemukan maknanya adalah dengan menganalogikan satu kejadian dengan kejadian lain.  Begitulah ketika memilih Jakarta sebagai objek menulis yang tentunya bukan hal mudah karena hegemoni yang melekat di dalamnya sebagai kota plural, penuh kesinisan, dan terkadang pongah bagi penghuninya. Namun ini menjadi tantangan tersendiri.

Dan yang pertama kali terbayangkan ketika melontarkan ide menulis tentang “Ngopi (di) Jakarta” pada suatu sore di pertengahan November 2013 itu adalah sekadar menyimpan kenangan tentang kota metropolitan ini. Kebetulan saya sedang “berlibur” menulis kala itu. Kami ,- saya dan Bung Irfan- juga baru pertama bersua setelah 5 tahun lebih hanya chit chat  di ranah maya.

Di blog ini juga, saya sebetulnya ingin mengasah kemampuan menulis, terutama menuliskan sebuah opini yang selama ini lebih banyak menyampah di status media sosial. Inipun yang ingin saya tularkan ke teman-teman lainnya.
Ada tujuan pribadi saya dan Bung Irfan saat itu, yang sebetulnya belum terpublikasikan, bahwa tulisan di blog ini suatu hari harus dibukukan. Minimal untuk kami lahap dan nikmati sendiri. Syukur bisa dibaca oleh khalayak dari berbagai kelas sosial. Mana tahu akan menjadi kenangan tersendiri ketika kami tak lagi menapakkan kaki di Jakarta.

Maka ketika Bung Irfan sudah kembali ke habitatnya di Bumi Parahiangan, saya cukup mafhum dengan keinginannya menuliskan kota Bandung ke dalam rutinitasnya. Sebagai orang yang sama-sama bernapas lewat merangkai kata-kata, saya akan heran jika Bung Irfan berhenti menulis hanya karena tak di Jakarta lagi. Mengutip Karl Marx dalam teori suprastrukturnya, “Bukankah kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tapi, sebaliknya, keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadarannya.”

Jakarta dan Bandung hanyalah perkara jarak yang sebetulnya begitu dekat.

Jangan pernah berhenti menulis, Bung!

Posted from WordPress for Android

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan