Ciliwung Dalam Cerita Peradaban Jakarta

Dibaca normal 4 menit

Sungai adalah ibu yang menghidupi. Terkesan berlebihan bila kita kemukakan teori itu sekarang. Namun simbolisme tersebut adalah pemikiran umum pada kebudayaan-kebudayaan besar di masa lalu. Memang kenyataannya, sebelum era rekayasa air, sungai, selain juga pantai, adalah denyut nadi metropolis-metropolis masa lalu seperti Mohenjo Darro, Harappa, lalu negeri-negeri di sisi Eufrat dan Tigris, negeri-negeri di sisi Mekong, Amazon, Rhijn, dan Thames. Sungai menghidupi peradaban-peradaban tersebut ย baik sebagai sumber air, sumber makanan, penyokong cocok tanam, hingga sebagai infrastruktur ekonomi dan perdagangan.

Tidak berbeda dengan beberapa peradaban di Nusantara. Kerajaan Taruma (Tarumanagara), sejak berdiri hingga pecah, sangat menggantungkan diri pada Citarum. Beberapa raja Tarumanagara bahkan berhasil merekayasa aliran sungai demi kemaslahatan ekonomi dan stok pangan mereka, sebagai mana dapat dilihat pada beberapa prasasti seperti Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Ciaruteun.

Kerajaan Sunda Pakuan atau Sunda Galuh, sebagai pecahan dari Tarumanagara, mengikuti pola pendahulunya dengan mengandalkan sungai sebagai penggerak ekonomi. Jika Tarumanagara mengandalkan Citarum untuk menghubungkan ibukota dengan pelabuhan utama mereka di Pantai Utara Karawang dan Bekasi, Sunda Pakuan mengandalkan Ciliwung sebagai “jalan tol” dari ibukota mereka di pedalaman Bogor Selatan ke desa pelabuhan utama mereka, yaitu Desa Kalapa.

Kalapa kemudian menjadi penting saat Sunda Pakuan berperang dengan “koalisi muslim” dari Kerajaan Demak dan Cirebon. Demak dan Cirebon, sebagai kerajaan yang berbasis di pesisir, mencoba masuk ke Pakuan melalui Kalapa dan Banten, sebagai pantai-pantai Sunda Pakuan, namun selalu terhambat karena terhadang pasukan Sunda Pakuan melalui dua kerajaan bawahan mereka di Ciliwung, yaitu Kerajaan Tanjung, yang berpusat di Condet, dan Kerajaan Muara Beres yang berpusat di antara Bojong Gede dan Depok. Untuk menghambat pergerakan Demak dan Cirebon di Kalapa, Sunda Pakuan akhirnya meminta bantuan Portugis, yang berkedudukan di Malaka. Raja Sunda Pakuan, mengutus putra mahkota Surawisesa untuk berangkat ke Malaka melalui jalan Ciliwung dan Pelabuhan Kalapa. Perjalanan ini diabadikan lewat simbol-simbol dalam cerita Mundinglaya Di Kusumah. Portugis bahkan diperkenankan membuat benteng di muara Ciliwung.

Namun koordinasi Surawisesa dan Portugis tidak berjalan mulus. Portugis yang sedang sibuk melawan bangsa Eropa lain yang masuk ke Malaka, terlambat datang ke Kalapa. Kalapa sudah terkepung oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan tokoh dari Malaka, Fadillah Khan, atau terkenal dengan nama Fatahillah. Pasukan Fatahillah berhasil menumpas Portugis di Kalapa, dan kemudian menguasai Desa Kalapa. Ia pun mengganti nama Kalapa menjadi Jayakarta (Kota Kemenangan). Kekalahan di Kalapa pun akhirnya membuat Sunda Pakuan terdesak dan akhirnya terkalahkan. Kemenangan bersejarah itu kini diperingati sebagai tanggal ulang tahun Provinsi DKI Jakarta.

Jayakarta kini berada dalam kekuasaan Banten, yang saat itu masih dalam proses menjadi kerajaan yang merdeka dari Cirebon. Banten menempatkan perwakilannya di Jayakarta, bergelar Pangeran Jayakarta. Perkembangan Banten pun turut mengembangkan Jayakarta dengan pesat menjadi kota pelabuhan dagang yang besar. Pedagang-pedagang Hadramaut, Campa, Tiongkok, Arab, Ternate, dan Eropa berdatangan ke Jayakarta. Banten pun mengembangkan pengaruh ke selatan dengan menempatkan bangsawan-bangsawan dan ulama-ulama di beberapa bekas pemukiman Sunda Pakuan sepanjang Ciliwung, mulai dari Kawung Pandak Karadenan di Cilebut, Bojong Gede, Depok, Kebagusan, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Condet, Jatinegara, hingga Marunda dan Ancol. Mereka mendirikan pesantren-pesantren di daerah-daerah tersebut, di mana masih banyak dari tradisi zaman tersebut yang masih bertahan hingga kini. Hal ini menjelaskan pula pola perkembangan Islam di daerah aliran Ciliwung.

Jayakarta yang memiliki arti “kemenangan yang sempurna” akhirnya hilang setelah Jan Pieterszoon Coen menghancurkan dan merebutnya pada tanggal 30 Mei 1619 kemudian mendirikan Batavia sebagai kota megah pada masa kolonial.

Batavia yang terus mengalami pertumbuhan fisik itu pun sedikit banyak turut memengaruhi Ciliwung. Maka perubahan demi perubahan Ciliwung dari hulu hingga ke hilir jangan sampai jadi peradaban yang tersia-sia.

Tinggalkan Balasan