/

Kelahiran si #NgoJak

Dibaca normal 5 menit

Ketika ada niat, pasti akan ada jalan. Terdengar klise, terutama bagi para pesimis seperti saya. Saya selalu mencoba menjaga jarak dengan sesuatu yang baru, terutama dengan pertimbangan risiko-risiko yang mungkin muncul. Saya tidak akan pernah bilang “iya” pada kesempatan pertama. Saya memerlukan “riset manajemen risiko” yang lumayan lama untuk mengambil keputusan. Untungnya tidak separah SBY.

Namun ketika Ali Zaenal mengirim pesan melalui Whatsapp Messenger kali itu, hilang semua SoP itu. Saya terlalu senang sampai saya langsung balas pesannya tak sampai satu menit. “Siap, kapan kita ketemu?”. Entah kenapa saat itu, berjanji bertemu Ali, bagai berjanji bertemu wanita muda cantik dengan kecerdasan di atas rata-rata. Menunggu seminggu untuk bertemu Ali, juga Novita, serasa sangat lama. Mulas dan dag-dig-dug.

Tentu saja begitu, pasalnya Ali dan Novi mengajak saya untuk membuat komunitas belajar macam Komunitas Aleut. Mereka nampaknya cukup terkesima dengan cara Aleut mengelola kegiatan belajar dengan cara yang berbeda, setelah akhirnya berkesempatan datang ke Kelas Literasi Aleut. 

Saya mengenal Ali sejak tahun lalu, ketika diajak oleh Komunitas Buku Berkaki, komunitas yang rajin menyuplai buku bacaan dan sekaligus rajin menanamkan minat baca kepada banyak rumah singgah dan komunitas belajar anak, untuk ikut dalam acara ulang tahun mereka yang ke-4. Waktu itu saya diajak untuk menjadi pemandu wisata sejarah kepada anak-anak dan anggota komunitas yang berpartisipasi. Tidak banyak komunikasi sebelumnya, tapi saya bisa membaca bahwa Ali adalah seorang yang serius dan berkomitmen untuk selalu belajar. Pembawaannya rendah hati, modal pertama untuk pembelajar hebat.

Sedangkan saya baru pertama bertemu Novi di Kelas Literasi Aleut. Sempat berdebat pula mengenai tataran filosofis komunitas-komunitas yang menggiatkan distribusi buku ke anak-anak yang kurang beruntung. Waktu itu saya sedang PMS, jadi nyinyir dan sensitif. Maaf ya, Nov. Tapi saya tangkap kesan bahwa Novi ini adalah orang yang tahu betul apa yang ia lakukan, bukan sekedar ikut-ikutan. Dan satu hal lagi, dia terlihat suka berdebat. Menarik.

Akhirnya hari itu datang juga. Jumat 5 Agustus 2016. Pukul 19:00 saya tergesa bersama istri dan anak-anak untuk pergi ke Bookopi di Tower Jasmine Kalibata City. Karena Ali dan Novi sudah menunggu di sana. Di salah satu bangku di luar ruangan, kami bersalaman. Agak ciut ketika Novi terlihat membawa salah satu “kitab suci” sejarah Jakarta. Tebal dan kokoh terlihat buku itu. Kami berbicara langsung ke pokok, mau buat yang seperti apa?”.

Dari pesan pertama di WA, kami sepakat bahwa Jakarta akan menjadi “muse” kami. Namun saya pribadi sudah bosan dengan perspektif umum bahwa sisi menarik Jakarta ada di Kota Tua, atau Taman Prasasti. Saya ingin melepaskan diri dari perspektif kolonial untuk melihat apa sejarah dan budaya menarik yang dimiliki Jakarta. Gayung bersambut, Ali menyampaikan bahwa Novi memikirkan untuk mengapresiasi Jakarta melalui Sungai Ci Liwung. Dalam sekali baca, saya langsung tertarik. Selama menunggu tanggal pertemuan, saya coba “riset” mengenai apa yang spesial dari Ci Liwung ini. Ternyata hasilnya seru. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ci Liwung ternyata merupakan faktor penting dalam perkembangan peradaban di Jakarta.

Kami pun sepakat memilih kacamata Ci Liwung untuk membaca Jakarta. Metode yang kami pakai kami ambil dari Ngaleut -nya Aleut, dengan datang ke objek dan mengapresiasi ruang. Tak melulu dari masa lalu, namun juga masa sekarang, dan masa depan. Kami tidak ingin hanya datang sebagai penikmat dan konsumen artefak sejarah, namun sebagai bagian dari ruang tersebut. Yang kami rumuskan dalam frase “Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan”.

Setelah beres masalah metodologis, kami pun masuk ke tataran teknis. Kami bersepakat memakai nama NgoJak, berdasarkan nama blog yang dirintis Ali, dimana saya, Novi, dan tentunya Ali, berkontribusi tulisan, Ngopi Jakarta. Kami pun akan menggunakan saluran media sosial milik Ngopi Jakarta, yang sudah berumur tiga tahun. Disepakati pula, bahwa NgoJak akan menjadi komunitas yang longgar, tidak konsisten, dan fleksibel. Penting, mengingat kami bertiga adalah pemuda dan pemudi yang hanya punya sedikit waktu luang. Saat akan bicara sistem kampanye kegiatan, tepat datanglah Arie, yang memang diajak oleh Ali. Arie yang memang memiliki minat dan bakat di bidang desain, didaulat paksa untuk membantu desain poster kegiatan nantinya.

Puji syukur, malam itu lahirlah NgoJak. Sebuah komunitas dengan cita-cita setinggi mungkin, tapi dengan usaha seminimal mungkin. Kami tidak tahu akan sampai kapan NgoJak bertahan, akan seperti apa pencapaiannya, akan jalan satu bulan sekali-kah, dan segala ketidakjelasan lain. Yang kami tahu, kami ingin belajar banyak sekali hal, dan kami ingin mengajak kalian.

Tinggalkan Balasan