There is no justification for life, but also no reason not to live. Those who claim to find meaning in their lives are either dishonest or deluded. In either case, they fail to face up to the harsh reality of the human situations.
Kutipan dari Donald Crosby, seorang profesor bidang Filosofi asal Amerika, tersebut, adalah salah satu hal bisa meringkas film Joker karya Todd Phillips dan Scott Silver. Bukan tugas yang mudah bagi seorang pembuat film, untuk memberi justifikasi bagi seorang tokoh seperti Joker. Secara tradisional, Joker adalah penjahat super, yang menjadi pijakan sang pahlawan super, dalam kasus ini adalah Batman, untuk beraksi memukau para penggemar.
Memfilmkan Joker, tentunya akan lebih sulit dari melakukan hal yang sama dengan tokoh Batman, Wonder Woman, atau Superman. Ekspektasi moralitas hitam-putih, ketergantungan atas adegan aksi penuh CGI, dan kebutuhan untuk membuat si karakter utama terlihat cool selalu membayangi setiap sineas yang menggarap film adaptasi dari DC. Chris Nolan sudah mencoba dengan sangat baik untuk membuat Batman terlihat sangat manusiawi dan rapuh di trilogi Dark Knight, namun bagaimanapun, ia adalah Batman, yang sudah punya simpati sejak puluhan tahun lalu, dan produk akhir karakternya adalah “benar” secara moral.
Dalam “Joker”, seluruh detail film bekerja keras untuk menjelaskan kepada penonton bagaimana seorang nihilis yang sangat cinta kekerasan bisa tercipta. Merujuk kata Crosby di awal, “harsh reality of human situations” menjadi ide pokok. Cerita dibangun dengan latar Kota Gotham yang sedang dilanda keresahan. Ketimpangan ekonomi yang makin melebar diikuti dengan wabah penyakit, ditutupnya jaminan sosial untuk kesehatan, kerasnya industri kerja, kekerasan horizontal di jalanan, sampai politisi kaya yang kampanye dengan berlagak peduli dan simpatik, plus orang yang berharap banyak padanya.
Cerita kemudian bergulir dengan cobaan untuk tokoh utama yang mengalir bagai air bah. Seperti cerita pada tokoh utama telenovela Rosalinda, namun dengan tingkat realistisitas yang jauh berbeda. Musik scoring dan soundtrack yang kebanyakan diisi oleh musik jazz big band mampu mempertajam suasana penuh ketimpangan sosial. Demikian juga dengan palet warna yang dipergunakan. Warna pada “Joker” seakan menjelaskan tone Gotham yang mulai berubah dari terang menjadi kelabu dan murung (di mana riasan Joker menjadi kontras yang sangat baik di adegan utama di studio talkshow). Tone yang nantinya akan berujung di tone Gotham ala Batman yang didominasi warna hitam. Dari segi sinematografi, terasa bahwa karakter utama dibuat mendominasi gambar. Banyak sekali gambar jarak dekat untuk mempertontonkan kelihaian akting Joaquin Phoenix membuat karakter Arthur Fleck bereaksi dengan wajar, namun ekstrim, terhadap jalan cerita.
Kelemahan film ini terasa sekali justru pada adegan puncak. Sepanjang film sampai sebelum adegan di studio talkshow, terasa kurang adanya adegan (atau setidaknya gambar) yang memperlihatkan kondisi-kondisi sosial yang makin memburuk sebagai latar. Sehingga secara general cukup sulit menangkap reaksi-reaksi Arthur sebagai reaksi kelas ekonomi, bukan hanya sekedar reaksi personal. Umpatan “far-left” Arthur pada Murray Franklin pun, meskipun pemilihan kata dan penyampaian Pheonix sangat bagus, akhirnya terasa kurang “nendang”, karena tidak terbangun keterikatan penonton pada Arthur sebagai bagian dari kelas yang tertindas. Keterikatan hanya dibangun pada Arthur sebagai individu yang sakit dan malang. Padahal Robert De Niro sebagai Franklin sudah mencoba mengekskalasi dialog dengan kata-kata khas orang kaya dan moralis memandang perilaku dan pergerakan kelas ekonomi di bawahnya. Adegan Joker diagungkan oleh para demonstran pun menjadi hambar, padahal secara gambar, sempurna sekali.